Lamun Sumelang, Film Getir yang Bikin Mikir


Kemiskinan dan kurang pendidikan bisa menjadi pemicu orang melakukan hal di luar nalar. Seperti tergambar dengan jelas pada film pendek Lamun Sumelang produksi Ravacana Films. Kemiskinan, mengobati penyakit lewat bantuan dukun, kebiasaan menyelesaikan masalah dengan cara bunuh diri, menjadi tema cerita yang diangkat oleh film berbahasa Jawa Lamun Sumelang.

Lamun Sumelang artinya perasaan khawatir. Film ini mengambil lokasi di Gunungkidul Daerah istimewa Yogyakarta. Durasinya hanya 18 menit. Namun meski durasinya pendek, film ini adalah film getir yang mengajak penontonnya buat mikir. Terutama bagi penonton yang hidup di kota besar yang modern dengan akses pendidikan mudah. Bahwa di pelosok sana, masih banyak orang yang mempertaruhkan nyawa dengan hal-hal di luar logika.

Lamun Sumelang juga memunculkan kenyataan betapa mudahnya orang di Gunungkidul mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Bunuh diri adalah solusi dari kesepian, solusi dari sakit, solusi tekanan hidup dan ekonomi. Data menunjukkan pada tahun 2021 terjadi 38 kasus bunuh diri di Gunungkidul, 37 di antaranya dengan cara gantung diri dan 1 orang dengan cara minum racun. 



Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2020 yang berjumlah 29 kasus. Pemda setempat mengatakan bahwa penyebab bunuh diri adalah masalah kejiwaan yang sulit dideteksi. Namun seperti yang tergambar  dalam film Lamun Sumelang, kebanyakan penyebab bunuh diri adalah karena tekanan ekonomi dan sakit yang menahun.

Gunungkidul menempati urutan kedua sebagai daerah dengan penduduk miskin tertinggi di wilayah Yogyakarta. Jumlah penduduk miskin di Gunungkidul tahun 2021 adalah 17,69% dari total populasi, meningkat dibandingkan dengan tahun 2020 yang sejumlah 17,07%. Urutan pertama ditempati oleh Kulonprogo dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 18,38%.

Tingginya angka kemiskinan menjadi faktor penyumbang naiknya kasus bunuh diri di Gunungkidul. Tentu ini menjadi masalah yang harus segera diatasi oleh pemda setempat. Jika tidak, maka tiap tahun akan terjadi kenaikan kasus bunuh diri. Kita tak mau ini terjadi.

 

Sinopsis Lamun Sumelang


Lamun Sumelang diproduksi tahun 2019, berdurasi 18 menit dan tayang perdana bulan Desember 2021. Film ini bisa ditonton secara gratis melalui youtube di channel Ravacana Films. Ravacana Films adalah rumah produksi yang kerap membuat film pendek dengan tema keseharian yang sarat pesan. Salah satu film pendeknya, yang menjadi perbincangan heboh para netizen adalah film Tilik. Ingat dengan tokoh Bu Tedjo yang gaya nyinyirnya kerap menjadi candaan di dunia maya kan?

Penulis naskah dan sutradara film ini adalah Ludy Oji Pratama. Sementara para pemainnya adalah Freddy Rotterdam, Nunung Deni Puspitasari, Naura Quinta Kun Sri Kuncoro, Liek Suyanto, Tuminten dan lain-lain. Bukan nama aktris dan aktor terkenal, namun akting mereka patut diacungi jempol karena sangat natural.

Film didominasi warna hitam, putih dan abu-abu, sesuai dengan kisahnya yang menceritakan getirnya hidup. Seluruh bahasa yang digunakan adalah bahasa jawa namun ada subtittle dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Oh ya, film ini berhasil menyabet penghargaan Piala Maya 2019 untuk Film Cerita Pendek Terpilih.



Agus dan Marni adalah pasangan suami istri yang mempunyai anak perempuan bernama Ningsih. Ningsih sakit kejang-kejang, dalam dunia medis kita mengenalnya sebagai Epilepsi. Ketidaktahuan orang tua Ningsih mengenai penyakit ditambah keterbatasan ekonomi membuat Agus dan Marni mempercayai pengobatan melalui dukun.

Dukun mengatakan bahwa penyakit Ningsih bisa disembuhkan dengan cara mencari 7 manusia untuk dijadikan tumbal. Agus tak ingin menambah dosa maka ia membunuh orang yang akan bunuh diri. Dalam pikirannya, toh orang tersebut memang berniat mengakhiri hidup. Setiap malam Agus mencari orang-orang yang akan bunuh diri. Caranya adalah dengan melihat ke arah mana pulung gantung menuju.

Pulung gantung adalah bola merah yang melesat di langit dan menjadi pertanda ada orang yang akan bunuh diri. Pada kenyataannya, Pulung Gantung memang mitos yang dipercaya oleh masyarakat di Gunungkidul hingga saat ini. Masyarakat yakin jika ada Pulung Gantung mengarah ke suatu tempat maka di tempat itu ada orang yang akan bunuh diri. 



Agus punya kemampuan berbicara dengan arwah dari manusia yang ia bunuh. Arwah ini menjadi teman bicara bagi Agus. Menariknya, perbincangan para arwah dengan Agus jauh dari kata seram. Celetukan khas jawa membuat saya kerap tersenyum dan ingat dengan sanak saudara di kampung halaman saya di Yogyakarta yang gaya bicaranya sama.

Sudah 6 orang yang dijadikan tumbal oleh Agus demi kesembuhan Ningsih. Namun penyakit Ningsih tak juga membaik. Ada adegan yang membuat saya trenyuh yaitu ketika Ningsih bilang ke ayahnya bahwa ia ingin makan nasi. Kemiskinan membuat Agus dan Marni hanya bisa memberikan Tiwul (penganan yang terbuat dari singkong) untuk Ningsih. Jadi ingat kalau saya sering membuang nasi yang tak habis dimakan.

Agus berhasil mengumpulkan 7 tumbal, namun tumbal ketujuh ini benar-benar membuat saya tertegun. Plot twist yang tidak saya suka. Ending film ini menambah ketidaksukaan saya menjadi dobel. Namun.. kehidupan memang tak selalu sesuai dengan rencana manusia. Kehidupan mengikuti takdir Tuhan.

Lamun Sumelang bukan film hiburan yang bikin kita menonton dengan fun dan tersenyum riang. Namun, once in a lifetime, film ini patut ditonton karena memberi banyak pelajaran soal hidup dan menyadarkan kita pada kenyataan, bahwa jauh di pelosok sana, hal-hal di luar nalar dan logika masih sangat dipercaya.



Sumber foto : youtube dan Ravacana Films




8 komentar

  1. Waahh jangan-jangan tumbal ketujuh itu dia sendiri? 😟 sotoy aja sih, nggak berani nonton juga saya kalau film-film keluarga yang bikin prihatin apalagi sedih. Hiks.. Reviewnya tapi bagus, Kak. Rapi dan enak dibaca ditambah data dan fakta dari Gunung Kidul. Saya orang Jogja malah nggak tau kalau di sana termasuk yang banyak bunuh diri 🥲

    BalasHapus
    Balasan
    1. tumbal ketujuhnya menyedihkan mbak hiks.. ini aja aku maju mundur mau nonton film ini karena baca review kok sedih bener.. tapi penasaran dan akhirnya nonton..

      Hapus
  2. Pernah pada satu masa saat usia anak-anak, aku takut diajak ke gunung kidul. Karena kabar yang aku baca di surat kabar waktu itu, bila ada Palung gantung lewat pertanda akan ada orang bunuh diri. Ya seperti yang diceritakan dalam film pendek ini, mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. mitos palung gantung masih kental yaaaaa... kalo dulu waktu ku kecil diceritain kalo ada palung gantung artinya ada yang kena santet... serem

      Hapus
  3. Membayangkannya saja tidak kuat, apalagi menontonnya. Tapi soal bola merah ini didaerahku kentel banget, aku gatau pasti dari mana itu datang dan apa efeknya nanti. Tapi kalau ternyata akan ada yang bunuh diri, berarti disini sering juga yaa.. Tapi kabarnya gak pernah ada, semoga saja aman-aman semua.

    BalasHapus
  4. Aku sudah nonton Lamun Sumelang ini, memang cukup getir ceritanya. Dan saya juga suka kejujuran ekspresi sinematik yang digunakan oleh sang sutradara. Semenjak Tilik trending, saya jadi banyak cari filmografi Ravacana, termasuk Lamun Sumelang ini.

    BalasHapus
  5. Bener banget, Mbak. Di pelosok desa itu masih begitu. Kemiskinan yang membelenggu dan pendidikan yang kurang. Ya boro-boro mikir mau belajar di mana, mikir hari ini bisa makan apa enggak juga gak tahu.

    Dan kadang membuat terpaksa merek melakukan hal-hal di luar nalar. Dukun dan lainnya masih lekat dg mereka. Selain itu mitos-mitos juga sangat lekat dengan kehidupannya.

    Film Lamun Sumelang ini hanya contoh kecil ya, Mbak. Aslinya banyak yang seperti Ningsih dan bapaknya.

    BalasHapus
  6. Baca review Mba Yayat ini hatiku mendung, Mba. Betapa masih banyak kemiskinan di sekitar kita. Saya jadi penasaran pengen nonton filmnya, tapi hatiku ragu, apakah saya akan sanggup menontonnya?

    BalasHapus