OYPMK Berhak Bebas dari Diskriminasi



Bulan Agustus hampir berakhir. Ini bulan yang berkesan untuk bangsa kita ya karena di bulan ini kita merayakan kemerdekaan. Saya suka sekali dengan tema hari Kemerdekaan kita tahun ini. Ulang tahun bangsa Indonesia yang ke 77 punya tema "Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat". Tema ini memang karena kita berhasil melewati pandemi. Namun secara keseluruhan tema ini berlaku untuk kondisi apapun.


Meski sudah berusia 77 tahun, namun makna kemerdekaan belum bisa dinikmati oleh sebagian orang, salah satunya Orang Yang Pernah Menderita Kusta (OYPMK). Masih banyaknya stigma negatif yang berkembang di masyarakat terhadap OYPMK membuat banyak saudara kita belum mendapatkan haknya seperti mendapat pekerjaan yang layak dan hidup di masyarakat tanpa mendapat diskriminasi.


OYPMK Berhak Menikmati Kemerdekaan 


Pada tanggal 24 Agustus 2022 saya mengikuti bincang-bincang yang diselenggarakan oleh Ruang Publik KBR, bertema "Makna Kemerdekaan bagi OYPMK, Seperti Apa?" Bincang-bincang ini bertujuan agar masyarakat tahu apa dan bagaimana OYPMK dan memberi edukasi pada masyarakat akan diskriminasi pada OYPMK menjadi hilang.



Marsinah Dhedhe adalah OYPMK. Ia pernah mengalami kusta sejak usia 9 tahun. Di masa itu penyakit kusta dikenal dengan nama penyakit Lepra yang berbahaya. Lingkungan sekitar menganggap penyakit kusta yang diderita mbak Dhedhe amat berbahaya dan menular. Maka mbak Dhedhe sempat dikucilkan oleh teman-temannya.  


Mbak Dhedhe telah sembuh dari kusta berkat pengobatan yang rutin ia jalani. Namun ia dan teman-temannya masih mengalami hambatan untuk berkreativitas karena ada stigma di masyarakat bahwa meski penderita kusta telah dinyatakan sembuh dan telah menyelesaikan segala rangkaian pengobatan atau dapat dikatakan RFT (Release From Treatment) tapi status atau predikat penyandang kusta akan tetap ada pada dirinya seumur hidup.


Hal ini menyebabkan Orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) bisa mengalami gangguan dalam hidupnya seperti gangguan kesejahteraan psikologis, gangguan hubungan sosial dan masalah dengan lingkungan sekitar. Semua gangguan ini membuat mereka sulit hidup di masyarakat.


Mendapat pengalaman yang tak menyenangkan ketika menderita kusta membuat mbak Dhedhe meminta negara bisa mengafirmasi dan mendorong disabilitas agar tidak tertinggal. Mbak Dhedhe meminta pemerintah memberikan peluang untuk bekerja, memberikan skill dan peningkatan kapasitas, termasuk soal hubungan sosial dan pendidikan. 



Selain itu mbak Dhedhe juga mengingatkan pentingnya peran positif dari lingkungan. Keluarga harus terus memberi dukungan dan menguatkan. Pendidikan jangan dihambat karena OYPMK berhak mendapat pendidikan. Dunia kerja juga harus membuka kesempatan untuk para OYPMK. Undang-undang terutama untuk disabilitas di dunia kerja, menyatakan adanya standar dan ketentuan minimal yang diberlakukan untuk menerima 1% (BUMN) dan 2% di perusahaan untuk disabilitas. 


Dr. Mimi Mariani Lusli  Direktur Mimi Institute, mengatakan bahwa bagaimana jika kita gencar melakukan publikasi penjelasan kepada masyarakat, maka stigma negatif itu bisa hilang. Dr. Mimi meminta pemerintah menganggarkan dana pada kementerian untuk bisa melakukan publikasi edukasi mengenai OYPMK. Dengan publikasi gencar maka masyarakat akan sadar. Seperti ketika pandemi, ajakan gencar dan informasi kesehatan tentang pentingnya masker membuat masyarakat sadar dan mau memakai masker untuk pencegahan menular nya Covid 19.


Dr. Mimi juga menyarankan para OYPMK untuk mendekat ke masyarakat dan memberikan edukasi secara langsung. Sementara untuk akses pekerjaan, OYPMK bisa bekerjasama dengan komunitas seperti NLR agar bisa menambah skill sekaligus mendapat support mental dari teman-teman seperjuangan.


Semoga stigma negatif pada OYPMK hilang ya dan OYPMK serta para penyandang disabilitas lainnya bisa memperoleh hak nya sebagai warga negara Indonesia. Sehingga makna kemerdekaan benar-benar bisa dinikmati oleh seluruh warga negara Indonesia.


Tidak ada komentar