Pentingnya Stimulasi dan Pola Asuh Kolaboratif untuk Anak di Masa Transisi




Kita sudah memasuki masa transisi pandemi. Meski protokol kesehatan harus tetap dijalankan seperti memakai masker di kerumunan, namun aktivitas sosial sudah berjalan normal. Car Free Day dibuka lagi, konser musik mulai diadakan lagi dan anak-anak juga sudah melakukan sekolah tatap muka. Senang ya, kehidupan kita berangsur kembali ke normal.


Berbeda dengan orang dewasa yang lebih mudah beradaptasi di masa transisi, anak-anak punya proses lebih panjang untung menjalani masa transisi, apalagi anak-anak yang lahir di masa pandemi. Diperlukan dukungan dan arahan dari orangtua agar anak-anak bisa menjalani aktivitas dan rutinitas baru di masa transisi tanpa kendala. 


Untuk memberi edukasi ada orangtua, sekaligus dalam rangka Hari Keluarga Nasional yang jatuh pada tanggal 29 Juni, Danone Indonesia menyelenggarakan kegiatan webinar yang mengangkat tema Kiat Keluarga Indonesia Optimalkan Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi dengan menghadirkan pembicara dr. Irma Ardiana, MAPS Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak, Dokter Spesialis Tumbuh Kembang Anak Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH, dan Ibu Inspiratif Founder Joyful Parenting 101 Cici Desri.



Dalam sambutannya Corporate Communications Director Danone Indonesia Arif Mujahidin mengatakan bahwa momen transisi menjadi kesempatan baik untuk mengasah dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, utamanya dalam perkembangan sosial emosionalnya. Anak usia dini pada dasarnya rentan karena mereka bergantung pada orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan paling dasarnya. Danone Indonesia memahami bahwa anak membutuhkan lingkungan terdekatnya untuk merangsang dan memberikan kesempatan tumbuh kembang yang optimal.


Danone Indonesia adalah perusahaan yang ramah keluarga yang secara aktif memberikan edukasi seputar kesehatan dan nutrisi untuk publik seperti halnya dalam Bicara Gizi hari ini. Danone Indonesia berharap kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kolaborasi orangtua untuk dapat memberikan stimulus yang tepat agar mencapai keberhasilan dalam mengembangkan aspek sosial emosional anak.


Pentingnya Stimulasi dan Pola Asuh Kolaboratif 


Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Irma Ardiana, MAPS menjelaskan, agar sosial emosional anak tidak terganggu di masa transisi, diperlukan pengasuhan kolaboratif dari ayah dan ibu. Ayah dan ibu harus memahami peran masing-masing. Pengasuhan bersama menekankan komunikasi, negosiasi, kompromi, dan pendekatan inklusif untuk pengambilan keputusan dan pembagian peran keluarga. 




Pengasuhan kolaboratif adalah salah satu cara pengasuhan dari 3 pengasuhan yang ada. Survei BKKBN mengungkapkan bahwa selama pandemi COVID-19, 71,5% pasangan suami istri telah melakukan pola asuh kolaboratif, 21,7% mengatakan istri dominan, dan 5,8% hanya istri saja. Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak mereka. Pola asuh yang tepat dari orangtua dinilai mampu membentuk anak yang hebat dan berkualitas di masa depan.


Situasi sosial budaya mempengaruhi anak-anak karena itu sesuaikan pola pengasuhan dengan jamannya. Anak merasa percaya diri ketika didampingi. Pupuk percaya diri anak dengan membuka komunikasi yang lebih luas di luar keluarga. Anak diberi kepercayaan bahwa mereka mampu dan beri apresiasi ketika anak mampu dan tidak mampu. 


Periode transisi butuh proses. Orangtua yang depresi sering melontarkan kekesalan pada anak. Efek pada anak, anak merasa tidak aman, panik, tumbuh dalam kecemasan. Orangtua harus bisa mengendalikan diri. Jika kondisi orangtua sedang emosi, jangan ketemu anak dulu. Lupakan emosi di tempat lain. Demikian dr. Irma Ardiana mengingatkan.



Sementara Dokter Spesialis Tumbuh Kembang Anak Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH menjelaskan bahwa aspek sosial dan emosional sangat penting bagi anak untuk mencapai semua aspek kehidupannya dan bersaing di fase kehidupan selanjutnya dimulai dari remaja hingga lanjut usia. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk memiliki pemahaman yang baik mengenai perkembangan sosial emosional anak khususnya di masa transisi pasca pandemi saat ini. 


Kebingungan menghadapi perubahan ruang dan rutinitas baru saat kembali menjalani kehidupan dan interaksi sosial dapat meningkatkan masalah sosial-emosional yang dampaknya bisa berbeda tergantung dengan usia anak dan dukungan dari lingkungannya. Gangguan perkembangan emosi dan sosial dapat mempengaruhi terjadinya masalah kesehatan di masa dewasa, seperti gangguan kognitif, depresi, dan potensi penyakit tidak menular.


Otak anak di usia 2 tahun lebih kompleks. Perkembangan anak terdiri dari 4 area yaitu motorik kasar, motorik halus, bahasa dan pendengaran, serta emosional kemandirian. Faktor yang mempengaruhi perkembangan adalah faktor genetik, nutrisi dan lingkungan. Perkembangan sosial emosional terjadi sejak si kecil dilahirkan. 


Dr. dr. Bernie Endyarni menjelaskan bahwa nutrisi penting untuk tumbuh kembang anak karena semua yang kita makan akan berpengaruh pada otak. yg kita makan itu berpengaruh pada otak. Ada fakta bahwa perkembangan emosi dan sosial berkaitan erat dengan kecerdasan otak dan sistem pencernaan yang sehat. Ketiganya saling terkait dan berpengaruh signifikan terhadap tumbuh kembang anak agar anak dapat tumbuh menjadi anak hebat. 



Salah satu cara agar anak bisa menjalani masa transisi dengan baik adalah dengan memberikan stimulasi. Dimulai dengan orangtua menjadi role model karena orangtua adalah contoh terdekat anak. Lakukan stimulasi di dalam suasana yg menyenangkan. Anak yg sering dibentak atau dimarahi akan jadi kurang percaya diri. Fakta mengungkapkan bahwa yang sering melakukan personal abuse adalah ibu. 


Anak yang berusia di bawah 5 tahun, otaknya berkembang sangat pesat. Anak bisa belajar lebih cepat. Berikan stimulasi dua arah dan di suasana menyenangkan serta lakukan berulang. Anak-anak usia sekolah biasanya suka berteman. Berikan motivasi pada anak untuk bergaul. Sampaikan apa yg boleh dan tidak boleh. Ajak adaptasi misalnya dengan mengunjungi sekolahnya sebelum masuk sekolah.


Founder Joyful Parenting 101 Cici Desri. menjalankan pola asuh kolaboratif untuk si kecil. Kunci utama pengasuhan kolaboratif adalah membangun hubungan positif dan berbagi peran dengan suami. Orangtua mengajarkan kerjasama pada anak dan anak diajarkan untuk menghargai orang lain. Orangtua mendorong anak mengungkapkan perasaannya secara verbal. Memberi kebebasan berpendapat, memilih, mengekspresikan perasaan pada anak tapi dengan batasan. 


Orangtua juga melibatkan pihak lain seperti guru untuk memantau kegiatan di sekolah apakah ada hambatan atau tidak dan bagaimana anak bersosialisasi. Cici Desri juga berkonsultasi dengan dokter spesialis tumbuh kembang anak. Pengasuhan kolaboratif membuat orangtua punya peranan dalam tumbuh kembang anak. Ibu lebih membangun mental dan karakter sementara untuk menumbuhkan rasa percaya diri libatkan ayah. P;a asuh kolaboratif menciptakan rasa aman pada anak. 

Tidak ada komentar