“Aku pernah berperang karena dendam dan marah, akibatnya
menyakitkan hati baik ketika menang apalagi kalah. Karena itu jangan berbuat
apapun karena dendam dan marah tapi bertindaklah karena melawan ketidak adilan”.
(Anak Rantau halaman 273)
Sebuah novel sejatinya bukan hanya sekedar buku ceriita
jika penulisnya memasukkan pelajaran hidup ke buku itu. Anak Rantau adalah
salah satu novel yang sarat pelajaran hidup. Ditulis dengan apik sekali oleh
Ahmad Fuadi, penulis yang buku-bukunya selalu menjadi best seller di mana-mana
bahkan beberapa di antaranya sudah difilmkan.
Saya datang ke acara soft launching novel Anak Rantau,
buku terbaru bang A. Fuadi tanggal 5 Agustus 2017 kemarin. Acaranya
diselenggarakan di Gedung Pos di Taman Fatahillah Jakarta. Saya bertanya-tanya
saat dalam perjalanan menuju lokasi, kenapa di Gedung Pos Kota Tua? Ternyata
ini bertepatan dengan festival literasi yang memang sedang diadakan di lokasi
ini. Sisi kanan Taman Fatahillah penuh dengan tenda-tenda yang berjajar buku-buku
di dalamnya.
Anak Rantau berkisah tentang Hepi, anak muda yang kembali
ke kampungnya setelah merantau ke Jakarta. Hepi dulu pergi karena terluka pada
ayahnya yang ia anggap tidak berdamai dengan dirinya. Ketika kembali ke kampung,
Hepi harus bertemu lagi dengan ayahnya. Luka Hepi bangkit lagi, namun bukan
hanya Hepi yang terluka, kakeknya yang mantan pejuang juga terluka karena
kebijakan negara. Pelajaran tentang memaafkan dan melupakan menjadi benang
merah novel ini.
Buku setebal 357 halaman ditulis bang A. Fuadi selama 4
tahun. Bukan waktu yang singkat untuk menulis sebuah buku. Kenapa selama itu?
Bang Fuadi bilang bahwa kita tidak bisa memaksakan menulis jika ide-ide belum
muncul. Proses yang lama juga dikarenakan bang Fuadi melakukan riset mendalam
untuk buku ini.
Bang Fuadi adalah anak Minang yang merantau, namun untuk
menulis Anak Rantau bang Fuadi merasa perlu tinggal di kampung lagi demi
merasakan rasanya pulang dari merantau. Bang Fuadi ngobrol dengan tokoh ulama,
tokoh adat dan perantau yang balik ke kampungnya. Sebuah totalitas dalam
menulis.
Dalam buku ini ada tokoh Inspektur Saldi, seorang polisi.
Untuk memasukkan tokoh polisi ke dalam cerita, bang Fuadi juga melakukan riset
dengan bergaul dengan pihak kepolisian juga mencari tau tentang narkoba dan
kriminalitas. Narkoba? Yap.. karena di buku ini diceritakan bahwa narkoba telah
masuk ke kampung Hepi dan meracuni banyak orang di sana. Hingga orang sampai
menjadi maling di kampung sendiri demi bisa membeli barang haram itu.
Anak Rantau berlatar belakang daerah Minang. Suasana
kampung yang sangat “Minang” membuat saya jadi penasaran dengan daerah Minang.
Saya belum pernah ke daerah Sumatra tapi punya banyak sekali teman yang berasal
dari Minang. Orang Minang itu kalau mau besar harus keluar dari kampungnya,
pergi merantau, kata bang Fuadi di acara kemarin. Dengan merantau, kita bisa
punya pengalaman baru dan ilmu baru bahkan juga keluarga baru, lanjutnya lagi.
Di Anak Rantau, Surau menjadi pusat pendidikan moral dan
mental anak-anak kampung. Sepinya surau menjadi pertanda bahwa moral anak-anak
kampung sedang bermasalah dan ini bukan sepenuhnya salah sanak-anak itu karena
menjauhi surau tapi kesalahan terbesar ada pada orang tuanya. Seperti yang
dikatakan Datuk pada Hepi di halaman 168 :
“Menurut saya maju mundur kampung kita ditentukan oleh
cara orang tua mendidik anak. Kalau orang tua mendidik anak dengan baik
tentulah anak dan masyarakat akan baik. Tapi kalau orang tua nya lengah-lengah
saja maka rusaklah anak-anak mereka, rusak pula kampung ini. Orang tua itu
ibarat tonggak negeri. Kalau orang tua itu sendiri lemah dan goyah, apa yang
mau diharapkan?”
“Coba lihat, orang tua kawan-kawan kau ini banyak yang
lembek, membiarkan saja anaknya malas
dan tidak mau ke surau. Ada pula yang menyuruh anaknya ke suarau tapi
dia sendiri hanya menginjak surau sekali setahun. Itulah yang disebut tungkek
bana nan mambao rabah. Tongkat malah yang membawa jatuh rebah, panutanlah yang
membawa musibah. Orang tualah yang mengalah kepada anak yang salah. Urang awak
sekarang krisis moral.”
Meski kalimat-kalimat ini mencerminkan kondisi surau di
kampung Hepi tapi kita bisa menarik pelajaran bahwa jika anak berbuat salah,
belum tentu karena anak memang salah. Bisa jadi karena kita sebagai orang tua,
mengarahkan anak untuk berbuat salah. Pelajaran yang bagus banget untuk para
orang tua kan.
Membaca Anak Rantau membuat saya senyum-senyum sendiri di
bagian Jin. Yap.. orang-orang di kampung Hepi masih percaya dengan mitos Jin.
Saya juga senyum sendiri membaca betapa polosnya Hepi. Demi mengumpulkan uang
untuk kembali ke Jakarta, Hepi bekerja di seorang warga kampungnya, Lenon,
menjadi pengantar barang. Ia tak mencari tahu barang apa saja yang ia antar.
Tugasnya hanya mengantar barang dan memastikan barang itu tiba ke pemesannya, itu
aja. Menjelang akhir buku ada cerita mengagetkan tentang Lenon. Yaitu… baca
sendiri aja ya hehehe.
Kemarin ada pak Miftah Sabri, CEO Selasar yang sama
seperti bang Fuadi, seorang perantau juga. Pak Miftah bilang bahwa potret
kampung di Anak Rantau bisa terjadi di mana saja bukan hanya di tanah Minang.
Kalimat-kalimat yang ditulis dengan sederhana di Anak Rantau mudah dicerna
siapapun pembacanya, kata pak Miftah. Iya sih… saya bukan penyuka novel berat,
jadi saya suka membaca Anak Rantau.
Sangat setuju dengan kalimat terakhir mbak Yayat. Memuat pelajaran hidup. Banyakkkkkk.
BalasHapusIni pelajaran mendidik anak juga ya mbak..
BalasHapusMasih adakah surau di kota ini ka?
BalasHapusSuka banget kalau tema nya tentang perantauan sering banyak inspirasi.
BalasHapusPas Buku Negeri 5 Menara juga bagus :)
hayo yang anak rantau mana suaranya
BalasHapus